Kamis, 12 Juli 2012

Delirium


Judul : Delirium
Penulis : Lauren Oliver
Penerbit : Mizan Fantasi
Tahun : Desember 2011
Halaman : 515 halaman
Harga : 50.000 (Yeah kurang lebih lahhh ....)
Genre : Fantasi Romantis


Resensi :
Love is Disease. Itulah konsepnya. Bahwa manusia sehat adalah manusia yang tidak menanggapi segala hal ke hati lalu mencintai, segala bentuk cinta dilarang karena menjadi sumber segala penyakit. Orang yang mencintai dianggap binatang.

Hari itu Lena Halloway yang sudah tidak sabar menunggu –Prosedur Penyembuhan- semacam proses untuk membuat kita tidak lagi mencintai. Tetapi di tengah proses, ketika Lena diwawancarai, keributan terjadi, dan dia melihat Alex Sheates disana tersenyum, Lena meyakini dialah biang kerusuhan yang terjadi. Awalnya dia tidak terlalu memperdulikannya, tetapi pertemua kedua dengan Alex ketika Lena dan Hanna sahabatnya jogging sore dan masuk daerah terlarang membuat Lena tahu bahwa keberadaan Alex saat dia diwawancarai adalah karena dia seorang penjaga –satpam- tempat itu. Meski begitu Lena masih merasa janggal.
Pertemuan lain berlanjut membuat Lena yakin bahwa Alex bukan penjaga keamanan biasa, dia aneh, dia terlalu longgar, sikapnya seperti seorang invalid –orang yang tidak mau atau tidak bisa disembuhkan dan memberontak- tetapi dia menepis pikiran itu karena tidak mungkin invalid berada di kota dan Alex punya luka bekas Proses Penyembuhan.
Akhirnya keduanya tetap saling mencintai, Lena yang begitu kuat memegang teguh bahwa cinta adalah penyakit berubah pikiran setelah langsung merasakan bagaimana cinta itu, dan kenyataan bahwa Alex berbohong tidak membuatnya surut untuk hidup bersama Alex.

Celotehan :
Sebenarnya ni buku udah aku baca lama sebelum ngetik resensi ini, sehingga dia harus aku keluarkan dari persemayaman sekedar mengingatkan hal-hal remeh yang terlupakan seperti nama lengkap Alex yaitu Alex Sheates.
Oke, jadi waktu itu aku pulang kampus dan ngelewatin sebuah toko buku, persinggahan pertama gak bikin aku ngambil buku ini, cuma mematutnya didepan mata kemudian membawanya dalam mimpi (secara tak sadar tentunya) dan merasa seperti telah melewatkan cowok ganteng yang menyapaku sehingga lusanya aku kembali membawa buku ini ditangan. Tak ada yang istimewa sebenarnya, namun entah kenapa covernya cukup menarik. Untuk konsep sendiri, dilihat dari sinopsis belakang jelas, menceritakan sebuah dunia dengan cinta sebagai penyakit, dan satu kata ‘absurd’ –sangat- tapi daya tariknya lebih kuat dan setelah membaca isinya memang semua pemikiran absurd itu hilang. Cara Lauren bercerita, oh membuat aku jatuh cinta pada Alex, membayangkan dirinya yang jangkung, kurus, kaos longgar, dan wajah tampan berandalan. Alurnya pun lumayan cepat (Bahkan ketika ada 515 halaman yang pasti termasuk tebal dan kenyataan bahwa ceritanya punya sekuel) entah hanya perasaanku saja atau memang cepat dan itu bagus.
Kekurangannya mungkin ada pada konsep –cinta adalah penyakit- yang menggantung, memang disitu dikatakan bahwa semua jenis cinta adalah penyakit, SEMUA. Tetapi entah mengapa semakin jauh cerita berjalan, cinta itu sendiri menjadi definisi yang sempit hanya pada lawan jenis. Ada beberapa peristiwa atau penggambaran perasaan yang menunjukan rasa cinta antar keluarga, misalnya pada keluarga Lena, sulit dipungkiri meskipun dalam kecanggungan ada sedikit kasih sayang, lalu persahabatannya dengan Hanna, yang awalnya aku pikir –Hey, itu melanggar hukum, kenapa cuma Alex- dan aku merajuk tidak ingin melanjutkan membaca selama sedetik. Lalu lanjut lagi sampai habis. Entah apakah karena penulis ingin menegaskan bahwa sebenarnya “Cinta” adalah unsur yang tidak dapat dihindari, atau hanya sedikit cela yang lolos dari konsep (seperti yang kebanyakan terjadi pada novel berunsur fantasi yang sangat atau mungin saja keluar dari realita yang tidak dialami langsung) tetapi diluar itu, kisahnya sangat menyentuh dan menampilkan cinta dari sisi yang berbeda, lebih modern.
Untuk ending, agak predictable sih dilihat dari rencana yang terlalu sempurna dan mulus dalam melarikan diri, cuma untuk nasib yang menggantung juga dimaklumi, mengingat memang itu adalah sifat dari novel yang punya sekuel. Yeah dan sekarang bukannya senang membaca kisah baru, aku justru tambah paranoid nunggui sekuelnya –Pandemonium- yang belum juga diterbitkan versi Indonesianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar